PENGKAJIAN FAKTOR PSIKOLOGI AKIBAT SAKIT DAN DIRAWAT DIRUMAH SAKIT

2.1. Defenisi Hospitalisasi
Hospitalisasi diartikan adanya beberapa perubahan psikis yang dapat menjadi sebab yang bersangkutan dirawat disebuah institusi seperti rumah perawatan (Berton, 1958 dalam Stevens, 1992).
Dalam Supartini (2002), hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah.
Penelitian membuktikan bahwa hospitalisasi anak dapt menjadi suatu pengalaman yang menimbulkan trauma, baik pada anak, maupun orang tua. Sehingga menimbulkan reaksi tertentu yang akan sangat berdampak pada kerja sama anak dan orang tua dalam perawatan anak selama di rumah sakit (Halstroom dan Elander, 1997, Brewis, E, 1995, dan Brennan, A, 1994). Oleh karena itu betapa pentingnya perawat memahami konsep hospitalisasi dan dampaknya pada anak dan orang tua sebagai dasar dalam pemberian asuhan keperawatan (Supartini, 2002).
Tingkah laku pasien yang dirawat di rumah sakit dapat dikenal menurut Berton (1958 dalam Stevens, 1992) dari :
-            Kelemahan untuk berinisiatif
-            Kurang/ tak ada perhatian tentang hari depan
-            Tak berminat (ada daya tarik)
-            Kurang perhatian cara berpakaian dan segala sesuatu yang bersifat pandangan luas
-            Ketergantungan dari orang-orang yang membantunya.

2.2. Faktor-Faktor Penunjang Hospitalisasi
Faktor-faktor yang menunjang hospitalisasi (Stevens, 1992) :
a.         Kepribadian manusia
Tidak setiap orang peka terhadap hospitalisasi. Kita melihat ada sebagian orang yang sangat menderita dan sangat tergantung pada pada apa yang diberikan lingkungannya. Namun ada juga yang menangani sendiri dan tidak bisa menerima keadaan itu begitu saja. Semua tergantung dari segi kepribadian manusia itu sendiri.
b.        Kehilangan kontak dengan dunia luar rumah perawatan
Pasien/ orang yang tinggal di rumah perawatan akan kehilangan kontak yang sudah lama berjalan dengan terpaksa. Dia sudah tidak berada lagi dalam lingkungan yang aman yang dijalaninya dalam sebagian besar hidupnya.
            Orang-orang yang sering berkomunikasi dengannya kini hanya sekedar bertamu dalam suasana yang berbeda, hanya sebagian kecil keluarga dekat yang menemaninya. Sebagian besar kontak-kontak dengan orang senasib yang terbatas dalam ruang perawatan yang sama dan dengan orang-orang yang membantunya. Dunia mereka boleh dikatakan terbatas pada lingkungan kecil. Apalagi ia bergaul dengan orang-orang yang sebenarnya bukan pilihannya.
c.         Sikap pemberi pertolongan
Ada perbedaan tugas antara pasien dan yang memberi pertolongan. Ini terlihat jelas dalam kegiatan mereka sehari-hari. Pasien biasanya menunggu dan yang menolong yang menentukan apa yang dilakukan dan kapan. Pasien menunggu apa yang terjadi dan perawat yang tahu. Pasien tergantung pada yang menolong dan ia terpaksa mengikuti. Ia sering merasa tidak berdaya sehingga merasa harga dirinya berkurang. Hal ini membuat dirinya lebih merasa tergantung. Perawat melakukan pekerjaan yang rutin dan berkembang sedikit saja, hal ini akan membuat mereka menanamkan jiwa hospitalisasi pada pasien.
d.        Suasana bagian perawatan
Suasana bagian sebagian besar ditentukan oleh sikap personel/ perawat, baik oleh hubungan antar sesama perawat, maupun oleh sikap mereka terhadap pasien dan tamu-tamu mereka. Cara berpakaian orang-orang di bagian juga sangat penting. Cara manuasia bergaul,  dapat mempengaruhi sikap pasien. Ketergantungan antara personal biasanya mudah dapat dipengaruhi. Pasien yang dirawat inap mendapat kesan bahwa mereka bukan yang terpenting dalam perawatan ini. Juga ternyata bahwa orang-orang yang hanya mendapatkan tugas melaksanakan pekerjaan dan tanpa bisa memberi tanggapan atau saran maka pasien-pasien atau tamu-tamu mereka akan diperlakukan sama seperti itu. Ini memperbesar kemungkinan adanya hospitalisasi.
e.         Obat-obatan
Obat-obatan dapat memberi pengaruh besar pada sikap. Beberapa obat-obatan dapat mengakibatkan adanya tanda-tanda yang sama seperti hospitalisasi. Dengan sendirinya, kemungkinan hospitalisasi besar. Jika dipakai obat-obatan yang dapat merangsang adanya sikap tadi.
2.3. Mempersiapkan anak untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit
Rumah sakit tempat dirawat mungkin merupakan tempat dan suasana baru bagi anak. Oleh karena itu, persiapan sebelum dirawat itu sangat penting. Persiapan anak sebelum dirawat di rumah sakit didasarkan pada asumsi bahwa ketakutan akan sesuatu yang tidak diketahui akan menjadi ketakutan yang (Supartini, 2004).
Menurut Supartini (2004), pada tahap sebelum masuk rumah sakit dapat dilakukan :
1.        Siapkan ruang rawat sesuai dengan tahapan usia dan jenis penyakit dengan peralatan yang diperlukan.
2.        Apabila anak harus dirawat secara berencana, 1-2 hari sebelum dirawat diorientsikan dengan situasi rumah sakit dengan bentuk miniatur bangunan rumah sakit.
Sedangkan pada hari pertama dirawat, menurut Supartini (2004), tindakan yang harius dilakuan adalah :
1.        Kenalkan perawat dan dokter yang akan merawatnya.
2.        Orientasikan anak dan orang tua pada ruangan rawat yang ada beserta fasilitas yang dapat digunakannya.
3.        Kenalkan dengan pasien anak lain yang akan menjadi teman sekamarnya.
4.        Berikan identitas pada anak. Misalnya pada papan nama anak.
5.        Jelaskan aturan rumah sakit yang berlaku da jadwal kegiatan yang harus diikuti.
6.        Laksanakan pengkajian riwayat keperawatan.
7.        Lakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainya sesuai dengan yang diprogramkan.

2.4.  Stressor dalam Hospitalisasi
Saat dirawat di rumah sakit atau tengah menjalani proses hospitalisasi, klien (dalam hal ini adalah anak), tentu akan mengalami stress akibat dari segala macam bentuk perubahan yang ia alami, seperti perubahan lingkungan, suasana, dan lain sebagainya.
Stressor dan reaksi hospitalisasi sesuai dengan  tumbuh kembang pada anak  (Novianto dkk,2009):
1)        Masa bayi (0-1 tahun)
Dampak perpisahan, usia anak >  6bulan terjadi stanger anxiety (cemas)
- Menangis keras
- Pergerakan tubuh yang banyak 
- Ekspresi wajah yang tidak menyenangkan
 
2)        Masa todler (2-3 tahun)
Sumber utama adalah cemas akibat perpisahan. Disini respon perilaku anak dengan tahapnya.
-  Tahap protes menangis, menjerit, menolak perhatian orang lain
- Putus asa menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minatbermain, sedih, apatis
-  Pengingkaran / denial
-  Mulai menerima perpisahan
-  Membina hubungan secara dangkal
-  Anak mulai menyukai lingkungannya

3)        Masa prasekolah (3-6 tahun)
Sering kali dipersepsikan anak sekolah sebagai hukuman, sehingga menimbulkanreaksi agresif.
-  Menolak makan
-  Sering bertanya
-  Menangis perlahan
-  Tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan

4)        Masa sekolah (6-12 tahun)
Perawatan di rumah sakit memaksakan ;
-  Meninggalkan lingkungan yang dicintai
-  Meninggalkan keluarga
-  Kehilangan kelompok sosial, sehingga menimbulkan kecemasan

5)        Masa remaja (12-18 tahun)
Anak remaja begitu percaya dan terpengaruh kelompok sebayanya. Reaksi yangmuncul ;
-  Menolak perawatan / tindakan yang dilakukan
-  Tidak kooperatif dengan petugas
-  Bertanya-tanya
-  Menarik diri
-  Menolak kehadiran orang lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar